Namanya adalah Dr. KH. Afifuddin Haritsah. Sebagai Pimpinan Pondok Pesantren (PP) An Nahdlah, Makassar, penuis menyebutnya “Anre Gurutta (AG)”. Gelar ini tidak berlebihan mengingat sepak terjang intelektual dan perjuangannya mewarisi AG. KH. Muh. Harisah AS., Pendiri PP. An Nahdlah (1982). AG Afifuddin ini adalah santri pertama AGH. M. Harisah. AG Afifuddin juga bagian dari Azhariyyin, salah satu Alumni beprestasi Jurusan Akidah Filsafat Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Dan setelah pulang ke Indonesia, perjuangannya membela Islam Sunni terlihat nyata dengan mengemban amanah sebagai anggota Syuriah PCNU Makassar. Di jalur akademik, ia menjadi salah satu Pengajar Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Bone, Sulawesi Selatan. Sebagai kiai muda atau anre gurutta NU, prestasi keilmuannya tidak diragukan lagi. Gagasan besar pemikirannya dapat terbaca dari karya karyanya yang lahir secara kreatif dan produktif. Misalnya, dengan sebuah buku berjudul Pendidikan Agama Inklusif (2020), AG Afifuddin membuka ruang dialog antar agama, mengusung toleransi, pluralisme atau kemajemukan. Bukan hanya dengan agama agama resmi dan minoritas, seperti Ahmadiyah, tetapi juga agama yang belum diakui di Indonesia, seperti Judaisme. Hal itu bisa terlihat dari tulisannya berjudul The Relations of Islam Judaism In History (2019).

Sebagai pengasuh pondok pesantren An Nahdlah, AG Afifuddin tidak saja berteori tentang pluralisme. Tetapi, pemikirannya dibangun di atas refleksi atas pengalaman dan pembacaannya atas lembaga lembaga pendidikan Islam di Indonesia, seperti dalam karyanya yang berjudul Religious Pluralism of the Indonesian Traditional Islamic Education Institutions (2018). Pluralisme merupakan ruh yang menghidupi prinsip filosofis dan dasar lembaga pendidikan Islam. Ini dapat ditemukan dalam Filsafat Pendidikan Islam Prinsip dan Dasar Pengembangan (2018). Pembicaraan tentang ruh lembaga pendidikan Islam, AG Afifuddin tidak mengabaikan peran penting Sufisme atau Tasawuf. Dalam Pendekatan Sufistik Dalam Sistem Pendidikan Islam Di Perguruan Tinggi (2017), ia menceritakan pengalaman real kontribusi Program Pencerahan Kalbu di Pesantren Mahasiswa UMI Dar al Mukhlisin Labbakkang Pangkep. Mahasiswa yang selam ini identik dengan akal rasional, logika empiris dan positifisme, mampu mempertahankan nilai nilai tasawuf dalam keseharian mereka. Pandangan AG Afifuddin tentang Sufisme tidak lepas dari kemampuannya menguasai khazanah Islam klasik (turats). Melalui tulisannya berjudul Ibnu Miskawaih Dan Pemikirannya Tentang Pendidikan (2017), ia menganalisis konsep pendidikan akhlak dalam Kitab Tahzib al Akhlaq wa Tathhir al A’raq, dan peluang penerapan dalam lembaga pendidikan Islam kontemporer. Santri atau mahasantri yang belajar filsafat Barat di kampus, tidak serta merta harus meninggalkan warisan pondok pesantrennya.

Untuk membuktikan pemikirannya itu, jauh hari AG Afifuddin Harisah sudah menulis Pendidikan Dengan Pendekatan Marxis Sosialis (2015). Tidak ada problem dan masalah serius dalam menggunakan Marxisme dan Sosialisme demi kepentingan lembaga pendidikan Islam. Terlebih di era milenial sekarang, ketika kapitalisme meraja lela dan kerusakan alam sebagai korbannya, pemikiran AG Afifuddin menemukan kontekstualisasinya. Dibutuhkan oleh masyarakat demi membela kelompok tertindas, terlebih kelas proletar yang dimiskinkan secara struktural oleh pemerintah yang kapitalis oligarkis. Namun, penerimaan AG Afifuddin Harisah kepada Marxisme dan Sosialisme adalah sub kecil dari pemikiran besarnya tentang pluralisme. Artinya, kaum santri dan warga Nahdliyyin siap mendampingi umat dalam segala lini kehidupan. Karenanya, ia lebih menekankan paradigma pluralisme itu sendiri. Dalam Pluralisme Kaum Sarungan Pesantren Dan Deradikalisasi Agama Di Sulawesi Selatan (2015), peran dan kontribusi warga Nahdliyyin, santri santri NU, sangat luar biasa. Menjaga citra positif agama dari kelompok radikalis. Perjuangan Azhariyyin yang satu ini memang berharga sekali, baik bagi warga NU, lembaga pondok pesantren, dan khususnya kaum santri. Dalam Pluralisme dalam Perspektif Pesantren di Sulawesi Selatan (2013), tampak kentara sekali AG Afifuddin ingin menunjukkan pada mata dunia tentang peranan pesantren pesantren di Sulawesi Selatan dalam mencegah radikalisme agama. Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tidak setengah hati memperjuangkan pluralisme, melawan radikalisme, dan menjaga keutuhan NKRI.

Pluralisme menjadi jantung kehidupan pondok pesantren. Ia pun kembali membuktikannya melalui Pluralisme Keagamaan Pada Lembaga Pendidikan Islam Tradisional (2012), dengan menampilkan Pondok Pesantren di Kabupaten Bone sebagai percontohan sosiologisnya. Kaum santri di Kabupaten Bone menjadi saksi hidup bagaimana paham pluralisme sudah mendarah daging. Mempertahankan paham pluralisme jauh lebih besar mendatangkan maslahat dan mereduksi mafsadat. Kita dapat membaca pemikiran AG Afifuddin tentang ini dalam Maslahat, Antara Syariah dan Filsafat (2007). Intinya, Islam itu terbuka bagi keragama dan menghargai perbedaan tanpa mengurangi kebanggaan akan keyakinan diri sendiri. Itu yang dapat kita tangkap dari Islam: Eksklusivisme atau Inklusivisme (2012).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *